Sabtu, 09 Juli 2011

Hukum Acara Tata Usaha Negara



Oleh :
Natsir Rits Firdaus

NIM                       : 208 301 158
Mata Kuliah        : HAPTUN

A.      Karakteristik dan prinsip-prinsip Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pengertian PTUN

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya.adalah meliputi kabupaten/ Kota dalam propinsi bersangkutan.

Sejarah Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara

Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.
Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang berisi :

    Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
    Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu :

    Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
    Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
    Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.

Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yangyang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yangyang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan

    Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
    Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:

    Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
    Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
    Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
    Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
   Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau badan hukum yangyang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).

Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya, putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian, putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak mampu menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu sengketa melalui upaya hukum.

Azaz-azas Umum Pemerintah Yang Baik
-          Azas kepastian Hukum
-          Azas keseimbangan
-          Azas kesamaan dalam keputusan
-          Azas bertindak cermat
-          Azas motifasi untuk setiap keputusan
-          Azas yang mencampur adukan kewenangan
-          Azas permainan yang layak
-          Azas keadilan yang layak
-          Azas keadilan dan kewajaran
-          Azas menangggapi penghargaan yang wajar
-          Azas meniadakan keputusan yang batal
-          Azas perlindungan atas pandangan dan cara hidup pribadi
-          Azas kebijaksanaan
-          Azas penyelenggaraan keperluan umum
-           

B.      Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengankewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.[1]

Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU NO.
51 tahun 2009 menyatakan:
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan,
Jawa Barat dan DKI.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:
(1) Tempat kedudukan Tergugat;
(2) Tempat Kedudukan salah satu Tergugat;
(3) Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat;
(4) Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah);
(5) PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan Tergugat berada diluar negeri;
(6) Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat kedudukan Tergugat didalam negeri.
Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke pengadilan TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan TUN tempat
kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan.
.
Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:
”Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara men.urut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi :
1.       Penetapan tertulis;
2.       Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3.       Berisi tindakan hukum TUN;
4.       Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5.       Bersifat konkrit, individual dan final;
6.       Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut.
Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.

C.      Alur Penyelesaian Tata Usaha Negara

Upaya Administratif
Penyelesaian sengketa administrative dilakukanmelalui tiga mekanisme yang dijalankan oleh Instansi pelaksana yang berebeda yaitu :
1.       Administratif Beroep
2.       Mekanismen Quasi Yudisial
3.       Pengadilan Negeri

Tenggang waktu Gugat
Pasal 55 menyebutkan bahwa :

“ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan ”.

Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.


D.      Gugatan
Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :
“ Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”
Gugatan di PTUN. diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut :
“ Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.

Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:

a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :

a.       nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b.      nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c.       dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.

Pengajuan gugatan.
Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.

Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.

Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ”.

Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan.

Pasal 55 menyebutkan bahwa :

“ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan ”.

Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.

Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).

E.       Pembuktian
Sistem pembuktian dalam Tata usaha Negara menggunakan asa Bebas terbatas yaitu hakim bebas menentukan apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa beban pembuktian itu dibebankan. Hal inilah yang membedakan dengan system pembuktian di peradilan perdata yatu siapa yang mendalilkan dia harus membuktikan.
Alat bukti sesuai dengan pasal 100 UU no.9 tahun 2004 terdiri dari:
-          Surat atau tulisan
-          Keterangan ahli
-          Keterangan saksi
-          Pengakuan para pihak
-          Pengetahuan hakim
Dalam hal pembuktian, hakim karena jabatan dapat memanggil saksi atau instansi lain yang terkait, bahkan melakukan pemeriksaan setempat/lapangan.

F.       Putusan Pengadilan

Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.

Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
a.       Gugatan ditolak.
b.      Gugatan dikabulkan.
c.       Gugatan tidak diterima.
d.      Gugatan gugur.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa (Pasal 97 ayat (9)) :

a.       Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b.      Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c.       Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.

G.     Eksekusi

Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau badan hukum yangyang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya, putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian, putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak mampu menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu sengketa melalui upaya hukum.


[1] S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003, hal:59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar